Abstrak RSS

Ronggeng, Ketuk Tilu, Dan Jaipongan Studi Tentang Tari Rakyat Di Priangan (Abad Ke-19 Sampai Awal Abad Ke-21)

Ronggeng, Ketuk Tilu, Dan Jaipongan Studi Tentang Tari Rakyat Di Priangan (Abad Ke-19 Sampai Awal Abad Ke-21)
Een Herdiani
Unpad
Indonesia
Unpad
, ,

Disertasi ini berisi kajian tentang Ronggeng, Ketuk Tilu dan Jaipongan: Studi tentang tari Rakyat di Priangan, abad ke-19 sampai awal abad ke-21. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: pertama bagaimana kedudukan ronggeng dalam tari rakyat di Priangan, kedua bagaimana kondisi tari rakyat di Priangan, ketiga mengapa ronggeng menjadi unsur yang esensial dalam Ketuk Tilu, keempat bagaimana dinamika ketuk Tilu di Priangan, dan kelima mengapa Gugum Gumbira mengangkat Ketuk Tilu sebagai sumber penciptaan Jaipongan, bagaimana prosesnya serta bagaimana perkembangannya. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah. Metode ini dilakukan dalam empat tahapan kerja, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Untuk menganalisis permasalahan di atas digunakan pendekatan sistem sosial Talcott Parson yang menyatakan bahwa perubahan mencakup sistem sosial, di mana terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu yang berlainan. Adanya perubahan tidak terlepas dari aspek ekonomi, politik, dan budaya. Perubahan terjadi karena adanya transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir, dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Kehidupan Tari Rakyat khususnya Ketuk Tilu di Priangan pada abad ke-20 dihadapkan pada berbagai persoalan sosial budaya yang menyangkut nilai-nilai etik dan estetik yang terdapat di dalamnya. Terutama berkaitan dengan ronggeng yang memiliki citra negatif di mata masyarakat. Ronggeng dalam Ketuk Tilu yang semula memiliki kedudukan suci sebagai shaman dalam sebuah upacara ritus kesuburan, secara evolutif berubah fungsi menjadi seni hiburan. Ronggeng tidak dapat dilepaskan dari Ketuk Tilu maupun Jaipongan karena merupakan unsur yang esensial. Walaupun istilah ronggeng dalam Jaipongan telah berubah nama menjadi “penari”, ia tetap menempati kedudukan penting. Terbukti bahwa karyakarya Jaipongan umumnya berjenis tari putri. Ketuk Tilu sebagai seni tradisi Sunda yang termarjinalkan ternyata memiliki kekayaan bentuk gerak yang fleksibel untuk dikembangkan. Proses penciptaannya dilakukan dari hasil observasi partisipan yang memakan waktu cukup lama, kemudian dieksplorasi dan dituangkan dalam bentuk sajian tari yang menghasilkan karya monumental. Tahun 1978 merupakan babak baru dalam percaturan sejarah tari Sunda yang paling populer. Dalam perkembangannya, Jaipongan digandrungi masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas dan Jaipongan mampu mencapai puncak popularitas sehingga berpengaruh besar terhadap kehidupan seniman dan kesenian lain. Periode ini merupakan periode kebangkitan tari Rakyat di Priangan. Walaupun Jaipongan bersumber dari tari Rakyat, namun tidak lantas dikelompokkan sebagai genre tari Rakyat, tetapi Jaipongan menjadi genre baru dalam tari Sunda. Ketuk Tilu telah bertansformasi menjadi Jaipongan, namun Ketuk Tilu sebagai sumber penciptaan tariannya hingga kini masih terpelihara keberlangsungannya dan hidup berdampingan dengan Jaipongan.

This dissertation contains a study of Ronggeng, Ketuk Tilu and Jaipongan: the study of folk dances in Priangan, from the 19th century to the early 21st century. The issues raised in this study are: first, how ronggeng position in folk dances in Priangan is; second, how folk dances condition in Priangan is; third, why ronggeng becomes an essential element in Ketuk Tilu; fourth, how the dynamics of Ketuk Tilu in Priangan are; and fifth, why Gugum Gumbira takes ketuk Tilu as a creation source of Jaipongan, how the process is and how it goes. The method used in this study is the historical method which is carried out in four stages of work: the heuristics, criticism, interpretation, and historiography. To analyze the problems, it is used social system approach of Talcott Parson who claimed that the changes include the social system, in which there is a difference between the state of a particular system in a different time period. The changes are inseparable from the economic, political, and cultural conditions. The changes due to the transformations in the society organization , the patterns of thinking, and the behavior at a particular time The findings revealed that the existence of Folk Dance, especially Ketuk Tilu in Priangan, in the 20th century was met by many socio-cultural problems related to ethical and aesthetic values inside, primarily concerned with Ronggeng who had a negative image in the eyes of society. Ronggeng in Ketuk Tilu was originally functioned to becoming sacred status as a shaman in a fertility rite ceremony, but then the role was evolutionarily developed into entertainment art. Ronggeng was not able to be separated from Ketuk Tilu and Jaipongan because she was an essential element to both of them. Although the term of Ronggeng in Jaipongan had been changed to be “dancer”, she still occupied an important position. It was confirmed that the creations of Jaipongan were generally branched out in female dance. As a marginalized Sundanese traditional art, Ketuk Tilu, obviously obtained the resource of flexible movements to be improved. The process of creation had been done through a long participant observation which then being explored and realized in the form of monumental dance presentation. The year of 1978 was a new era for the history of the most popular Sundanese dance. Jaipongan, during its development, had been adored by the lower and the upper classes of society. Jaipongan was able to reach the peak of popularity, so that it influenced a lot towards the lives of artists and other arts. This period was a period of Folk Dance arousing in Priangan. Even though Jaipongan was sourced from the Folk Dance, it was not necessarily to be classified as Folk Dance, it was a new genre of Sundanese dance. Ketuk Tilu had delivered Jaipongan , but the existence of Ketuk Tilu as the source of its creation had still been maintained and coexisted with Jaipongan itself.

Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi http://cisral.unpad.ac.id