Abstrak RSS

Problem Keminangan Dalam Cerpen ”Robohnja Surau Kami” Karya A.A. Navis Tinjauan Semiotika Budaya

Problem Keminangan Dalam Cerpen ”Robohnja Surau Kami” Karya A.A. Navis Tinjauan Semiotika Budaya
Sulastri
Unpad
Indonesia
Unpad
, , ,

Problem adat dan agama di Minangkabau diselesaikan dalam slogan adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah. Sebuah slogan berwajah ganda. Slogan itu dibungkus dalam perumpamaan yang dipertahankan sebagai konsep ideal. Sulit dibayangkan adat bersistem matrilinial bergandengan tangan dengan agama yang patrilinial, kedua konsep secara ideal seolah-olah berjalan beriringan. Akan tetapi, ada yang tidak terlihat yakni ‘cermin ingatan’ (a mirror with memory) yang direpresentasikan teks “Robohnja Surau Kami”. Teks mengangkat problem tokoh lelaki yang tinggal di sebuah surau. Tokoh secara implisit berhadapan dengan kedua slogan tersebut yang sebagai sebuah laku ‘mimesis’ menunjukkan ada yang dianggap ‘persis’ dan ‘tidak persis’. Slogan dan konsep keagamaan yang kabur, samar, dan tidak jelas dibungkus dalam penggunaan bahasa yang obskurantisme dengan kelemahan pemikiran bahasa secara logis. Problem dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika yang menganggap tanda bukan hanya benda, budaya, peristiwa, sistem, serta kebiasaan masyarakat juga bisa ditafsirkan sebagai tanda. Suatu sikap keagamaan yang tidak memberi ruang dialog tentu akan memunculkan klaim kemutlakan. Tanda dialog dalam RSK dianggap sebagai sebuah bentuk kelihaian, kekuatan dan kepalsuan tokoh ketika berhadapan dengan kedua sistem tersebut. Selanjutnya, tanda semiotik dianalisis membuka peluang terjadi perasaan; bertoleransi versus intoleransi, diberlakukan adil versus ketidakadilan, revolusi versus resolusi, ketakutan versus bernostalgia terhadap sistim matrilinial tersebut. Untuk menjawab seperti apa terjadi perubahan dan pergeseran pemaknaan diperlihatkan oleh salah satu tanda dalam kata, siak, saliah, malin, katik, bila , dan mitos Ungku Saliah.

The problem of custom and religion in Minangkabau is resolved in a slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”, which has a double meaning. The slogan contains an ideal concept, in which a matriarchal system of the local custom can harmoniously be hand in hand with a patriarchal religion, which is actually very hard to imagine. However, there is what is called “a mirror with memory”, which is invisible and which is represented in a text entitled “Robohnja Surau Kami”. This text raises the issue of the problems of the two male characters who live in a small mosque. These two male characters are implicitly portrayed to face the problems of dealing with the two systems. When a literary work is regarded as a mimetic act, there appear some phenomena of being “exact” and “not exact”. An obscure and unclear slogan and religious concept is packed in an obscure use of language with a weak logical thinking. All the problems are analysed using a semiotic approach which considers that a sign is not only a concrete thing, but also cultures, events, systems and local customs. A religious principle which does not give any space for dialogues will certainly produce a claim of absoluteness. The dialogues in the text as a sign are considered a form of cleverness, strength, and falseness. Another sign shows a chance of being different and making a change. This conveys a feeling of tolerance and intolerance, fairness and unfairness, revolution and resolution, fear and nostalgia of the Minang custom. Interpretation of such words siak, saliah, malin, katik, bila, and mitos Ungku Saliah is needed in order to find out the kind of changes that has taken place.

Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi http://cisral.unpad.ac.id