Abstrak RSS

Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory)

Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory)
Dadang Sugiana
Universitas Padjadjaran, Jurnal Komunikasi Dan Informasi, Volume 8 Nomor 2 Oktober 2009-April 2010, ISSN 1412-3177
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran, Jurnal Komunikasi Dan Informasi, Volume 8 Nomor 2 Oktober 2009-April 2010, ISSN 1412-3177

Sudah dari sejak dulu, para ahli antropologi berusaha untuk memahami budaya dengan melakukan penelitian lapangan dan menulis etnografi. Melalui cara kerja yang dilakukan para antropolog tersebut diharapkan sebuah budaya akan dapat dideskripsikan dengan detail. komplet dan akurat.Pada pertengahan tahun 1970, dua orang antropolog, Edwin .Ardener (1975) seorang antropologis sosial dari Oxford University dan Shirley Ardener (1978) sebagai rekan kerjanya menunjukkan minat untuk melihat cara kerja para antropolog budaya tersebut di lapangan. Mereka melihat bahwa ternyata para antropolog melakukan penelitiannya dengan lebih banyak berbicara dan bertany,a kepada kalangan laki-laki dewasa pada suatu budaya tertentu untuk kemudian mencatatnya dalam etnografi sebagai gambaran budaya secara keseluruhan. Sehmgga tidak seluruh porsi dari deskripsi budaya tersebut, seperti perempuan, anak-anak, dan posisi dari pihak yang tak berdaya lainnya, disajikan sebagai bagian dari cerita budaya tesebut.Edwin Ardener dalam monografinya, “Kepercayaan dan Problem Perempuan” mengemukakan kecenderungan aneh di kalangan etnografer yang mengklaim harus “meretakkan kode” dari sebuah budaya tanpa membuat referensi langsung pada setengah masyarakat yang terdiri dari kalangan perempuan. Para peneliti lapangan seringkali membenarkan kelalaian tersebut dengan melaporkan bahwa sulitnya menggunakan perempuan sebagai inforenan budayanya. Menurut mereka, perempuan muda terkikih-kikih, perempuan tua mendengus. mereka menolak pertanyaan dan menertawakannya, secara umum hal tersebut menyulitkan para peneliti yang dididik dalam metode penelitian saintifik yang maskulin. Hal ini disehabkan karena bahasa yang digunakan oleh perempuan bersifat rapport talk, yaitu cenderung berbicara untuk membangun keakraban dan membutuhkan penerimaan orang lain dalam berbahasa, sehingga bagi pars etnografer itu menyulitkan mereka, sedangkan bahasa yang digunakan oleh laki-laki lebih bersifat report talk, yang cenderung hanya untuk memberikan penjelasan dan tidak dalam rangka membangun keakraban, dan hal ini justru memudahkan etnografer untuk memperoleh banyak penjelasan dari kalangan laki -laki.

Download: .Full Papers