Abstrak
Ruang Publik Dalam Pemilihan
Caroline Paskarina
Fisip, Lemlit Unpad
Indonesia
Unpad
discourse contestation, mayor election, pemilihan walikota, pertarungan wacana, public sphere, ruang publik
Desentralisasi dan demokratisasi dalam era reformasi telah mengubah proses pemilihan kepala daerah menjadi peristiwa politik yang menarik dan sulit untuk diprediksi. Dalam proses tersebut, terdapat berbagai kepentingan yang bertarung dengan menggunakan bermacam-macam strategi, termasuk melalui penggunaan bahasa dalam pertarungan wacana. Analisis terhadap pertarungan wacana dilakukan dengan menggunakan metode analisis wacana (discourse analysis). Indikator yang digunakan meliputi setting, agents atau participants, political actions, dan mutual knowledge (basis kognisi) yang membentuk pemaknaan dari wacana-wacana yang saling berkompetisi. Pemaknaan terhadap wacana yang muncul, baik wacana utama maupun wacana tandingan dianalisis dengan mengacu pada konteks sosial. Selanjutnya, ketersediaan ruang publik sebagai arena berlangsungnya kompetisi wacana dapat diukur dari penggunaan dimensi-dimensi kekuasaan, kapital, dan kebudayaan dalam proses produksi dan reproduksi makna dari suatu wacana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi makna masih didominasi oleh elit. Dominasi ini diindikasikan dari penggunaan argumen-argumen yang bersifat legal, normatif, dan prosedural sehingga mempersempit peluang munculnya wacana tandingan. Wacana figur alternatif sebagai wacana tandingan mengindikasikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap elit penguasa yang dinilai tidak mampu membawa perubahan signifikan dalam praktik pemerintahan daerah. Dari ketiga dimensi yang diteliti, dimensi kapital berpotensi besar untuk memperluas ruang publik meskipun perannya dalam memunculkan wacana tandingan tidak terlepas dari kepentingan akumulasi modal sehingga perlu diimbangi dengan pengembangan kapasitas dua dimensi lainnya.
Decentralization and democratization within reformation era have turned the mayor election into interesting and unpredictable political event. There are varieties of interests fighting in local government election using any kind of strategies, including language through discourse. Discourse contestation is analysed with discourse analysis method. The indicators are setting, agents or participants, political actions, and mutual knowledge that construct the meaning of discourse. The interpretation of discourse meaning, both main discourse and counterdiscourse, is related to social context. The existence of public sphere as space for discourse contestation is measured by the emerged of counter discourse through the exercised of power, capital, and cultural dimensions. The result shows that construction of meaning is still dominated by elites. This domination indicates through the use of legal, normative, procedural arguments. Issue of alternative figures as counterdiscourse indicates the decrease of public legitimation and trust to governing elites considered unable to bring significant changes in local government practice. Among three dimensions, capital dimension has potency to increase public sphere through articles and news in mass media. However, the capital orientation of this dimension needs to be balanced by developing the capacity of two other dimensions.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi : http://www.lppm.unpad.ac.id