Abstrak RSS

Soft Power Dalam Penyelesaian Konflik : Studi Tentang Politik Desentralisasi Di Aceh

Soft Power Dalam Penyelesaian Konflik : Studi Tentang Politik Desentralisasi Di Aceh
Darmansjah Djumala
Unpad
Indonesia
Unpad
, ,

Konflik Aceh yang berlangsung selama 3 (tiga) dekade dapat diselesaikan dengan ditandatanganinya MOU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Masalah utama yang dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana peran desentralisasi dan kebijakan soft power dalam penyelesaian konflik Aceh. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dan analisanya didasarkan pada data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai narasumber dan riset atas referensi dan dokumen lainnya. Artikel ini menyimpulkan bahwa kegagalan politik desentralisasi di Aceh disebabkan karena pemberian otonomi khusus kepada Aceh dilakukan sepihak/unilateral, fait accompli dari Pusat, tanpa mengikutsertakan GAM dalam proses dialog dan negosiasi. Selesainya konflik Aceh disebabkan karena adanya keberanian politik dari Pusat untuk mengubah struktur hubungan antara pemerintah dan GAM. Artikel ini juga menyimpulkan bahwa konflik Aceh dapat diselesaikan bukan dengan hard power melainkan dengan soft power, yang dimanifestasikan dalam pendekatan informal, kemanusiaan dan kekeluargaan guna membujuk GAM agar mengadakan dialog dan negosiasi langsung mengenai isi otonomi khusus Aceh.

Aceh conflict, which lasted for 3 (three) decades, has been resolved with the signing of the MOU Helsinki on August 15, 2005. The major issues discussed in this article are the role of decentralization and soft power in Aceh conflict resolution. It employed qualitative method and its analysis was based on primary data gathered through interviews with various resource persons, and research on documents and references as well. The article argues that the failure of politics of decentralization in Aceh was due to the fact that the special autonomy for Aceh was accorded unilaterally, sort of a “fait accompli”, by the Central without GAM’s participation in dialog and negotiation process. The Aceh conflict resolution was prompted by the political courage demonstrated by the Central to change the structure of relationship between the Government and GAM The article also suggests that Aceh conflict could be solved not by hard power, rather by soft power, which has been manifested in informal, human and familial approach to persuade GAM to come to direct dialog and negotiation on the content of the special autonomy for Aceh.

Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi http://cisral.unpad.ac.id