Abstrak RSS

Perspektif Industri Penggemukan Sapi Potong Impor (Feedlot) Di Indonesia ( Perspective Of Feedlot Industry In Indonesia )

Perspektif Industri Penggemukan Sapi Potong Impor (Feedlot) Di Indonesia ( Perspective Of Feedlot Industry In Indonesia )
Rochadi Tawaf
Unpad,Simposium Kebudayaan Indonesia - Malaysia ( Skim X ) Kuala Lumpur 29 - 31 Mei 2007
Indonesia
Unpad,Simposium Kebudayaan Indonesia - Malaysia ( Skim X ) Kuala Lumpur 29 - 31 Mei 2007
, , , ,

Pangsa pasar daging sapi di Indonesia masih sangat terbuka luas bagi industri peternakan sapi potong, dengan konsumsi protein hewani yang baru mencapai 4,7 gram/kapita/hari masih di bawah standar norma gizi (menurut FAO 6 gram/kapita/hari). Untuk meningkatkan konsumsi protein hewani 1 gram/kapita/hari, maka dibutuhkan daging sekitar 1.265,8 ton/hari identik dengan 10.548 ekor sapi yang harus dipotong per hari atau 3,85 juta ekor per tahun, sedangkan populasi sapi di Indonesia hanya sekitar 11,9 juta ekor. Jika saja kebutuhan tersebut hanya dipenuhi dari produksi domestik, maka dalam jangka waktu beberapa tahun populasi ternak sapi di Indonesia akan punah. Bisnis Feedlot yang menggunakan sapi bakalan impor memberikan benefit sebesar 35,8%. Nilai BCR ini sangat tinggi, mengingat lama penggemukan rata-rata hanya 3 bulan, bahkan untuk sapi trading lebih singkat lagi yaitu sekitar 12 hari. Dalam satu tahun besarnya manfaat dari impor sapi sekitar 107,4 % dari biaya yang dikeluarkan untuk mengimpor sapi. Besarnya nilai tersebut lebih besar dari suku bunga bank komersial yang hanya sekitar 25 %. Usaha penggemukan sapi potong di Indonesia sangat prospektif untuk dikembangkan. Dalam rangka pengembangan agribisnis berbasis sapi potong di Indonesia harus berpedoman kepada, azas kelestarian sumberdaya ternak nasional, azas keseimbangan suplai demand dan azas kemandirian menuju kecukupan daging bagi masyarakat. Dalam menghadapi pasar global, perspektif bisnis feedlot harus pula berasaskan perdagangan yang berkeadilan (fair trade) dan kesetaraan (equal treatment) antara peternak di dalam negeri dan di negara lain. Perlunya kebijakan pemanfaatan teknologi dan sumberdaya manusia, sehingga produksi domestik akan memiliki daya saing tinggi melalui upaya mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.

Beef market share in Indonesia is very big for beef cattle industry, related to very low protein consumption per capita (4.7 gram/cap/day while FAO standard is 6 gram/cap/day). If the consumption increases 1 gram/cap/day, it requires beef around 1,265.8 tons/day or 10,548 heads beef cattle to be slaughtered per day or 3.85 million beef cattle per years. On the other hand, cattle population in Indonesia is only 11.9 million heads. If the beef demand is only supplied from domestic production, so in the short term the beef cattle will disappear from Indonesia. Feedlot business using imported cattle from abroad (Australia) provided BCR 35.5%. The BCR very high due to the maximum day on feed about 3 months, term of payment is 12 days. Benefit of this business is 107.4 % per year from the total import cost, which is bigger than commercial bank interest (25)%. Feedlot business in Indonesia is very prospective. Beef Cattle Agribusiness development in Indonesia should be based on: sustainability of local cattle resources, the balance of supply and demand for beef self sufficient Facing the global market, government policy should be based on: fair trade and equal treatment of both local and abroad cattle farmers. Besides, technology application and skill are needed to make the domestic production has highly competitive advantages.