Abstrak
Gambaran Marital Horizon Pada Emerging Adulthood Suatu Studi Deskriptif mengenai Komponen Marital Horizon (the relative importance of marriage, the desired timing of marriage, dan criteria for marriage readiness) pada Emerging Adults Bersuku Minangkabau
Dewi Purnamasari
Unpad
Indonesia
Unpad
budaya Minangkabau, emerging adulthood, marital horizon, Minangkabau culture
Menurut adat Minangkabau, menikah merupakan pemenuhan adat sehingga menikah menjadi suatu keharusan dan prioritas dalam hidup. Tidak hanya itu, Minangkabau memiliki pandangan tersendiri terkait usia ideal untuk menikah dan aturan dalam memilih pasangan. Aturan adat tersebut membuat lingkup eksplorasi diri dalam hal percintaan yang menjadi karakteristik khusus dari periode emerging adulthood menjadi lebih sempit dan seakan telah menentukan pandangan terhadap pernikahan pada orang muda Minangkabau. Carroll menyebut pandangan terhadap pernikahan dengan istilah marital horizon, yang terdiri dari tiga komponen, yaitu tingkat kepentingan relatif atau prioritas untuk menikah dalam rencana hidup seseorang, waktu yang diinginkan untuk menikah, dan kriteria kesiapan yang harus dipenuhi sebelum siap untuk menikah. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai komponen marital horizon pada emerging adults yang bersuku Minangkabau dengan menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan komponen yang membentuk marital horizon tersebut. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 132 orang yang diperoleh melalui teknik sampling snowball dan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan budaya Minangkabau, mayoritas (87,12%) subjek memandang pernikahan sebagai prioritas dalam hidup. Mayoritas subjek ingin menikah pada usia 25 atau 27 tahun yang mana usia ini merupakan usia ideal untuk menikah menurut budaya Minangkabau. Selanjutnya kriteria yang perlu dipenuhi subjek laki-laki sebelum siap menikah didominasi oleh sub-komponen role transitions, interpersonal competencies, dan intrapersonal competencies. Sedangkan untuk subjek perempuan, kriteria kesiapan menikah didominasi oleh sub-komponen intrapersonal competencies, family capacities, dan interpersonal competencies. Pemilihan kriteria ini merujuk pada peran subjek dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Marriage is imperative and become priority in Minangkabau custom because it is used to fulfil the custom itself. Minangkabau custom also has its own perspective for ideal age for marriage and regulation in choosing partner. These custom make the scope of exploration in terms of romance which has been became a special characteristic of emerging adulthood becomes narrower. It also seemingly defined the marital horizon of the young Minangnese. Carroll proposed the theory of marital horizon which has three components, namely, the relative importance of marriage, the desired timing of marriage, and criteria for marriage readiness. By using Carroll’s theory, this research was conducted to define the components of marital horizon on Minangnese emerging adults. The participants of this study were 132 Minangnese emerging adults who were determined by using snowball and purposive sampling technique. The result showed that 87,12% of participants perceived marriage as priority in their life plans and wanted to get married at the age of 25 or 27 years old. This is similar to Minangkabau custom about marriage. Furthermore, criteria for marriage readiness for male participants was dominated by role transitions, interpersonal competencies, and intrapersonal competencies. On the other hand, the criteria for marriage readiness for female participants was dominated by intrapersonal competencies, family capacities, and interpersonal competencies. These criteria are needed to fulfil the participants’ role in Minangkabau society.