Abstrak RSS

Evaluasi Dan Manajemen Medis Inkontinensia Urin

Evaluasi Dan Manajemen Medis Inkontinensia Urin
dr. Vitriana, SpRM
Unpad
Indonesia
Unpad
,

“Kebocoran” urin merupakan keluhan terbanyak yang tercatat pada Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk mengatasinya. Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan, populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian. Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai suatu yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan. Di Amerika Serikat saat ini tercatat 13 juta orang mengalami inkontinensia dengan 11 juta diantaranya berjenis kelamin wanita. Dua puluh lima persen wanita antara usia 30-59 tahun pernah mengalami inkontinensia urin, sementara pada individu berusia 60 tahun atau lebih, 15%-30% menderita inkontinensia urin. Di antara wanita berusia pertengahan, suatu penelitian mengindikasikan bahwa dari 58% populasi yang melaporkan inkontinensia hanya 25% yang mencari terapi untuk kondisi tersebut. Thomas mengidentifikasikan bahwa hanya 1 dari 10 wanita akan mencari pelayanan kesehatan profesional untuk masalah inkontinensianya. Tahun 1997, berdasarkan hasil dari 21 penelitian, Hampel menemukan bahwa stress incontinence merupakan bentuk paling sering (49%) inkontinensia pada wanita sementara urge incontinence merupakan bentuk tersering (40-80%) pada pria. Thomas et al melaporkan bahwa gejala stress incontinence lebih sering terjadi pada wanita berusia 45-54 tahun, sementara urge incontinence kejadiannya akan meningkat seiring dengan pertambahan usia (antara 35-64 tahun). Sementara Kondon dan rekannya menemukan prevalensi stress incontinence maksimum (43%) pada kelompok usia 50 tahun. Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu, 1990). Stigma tentang inkontinensia urin disertai dengan kurangnya pemahaman tenaga profesional kesehatan tentang pilihan intervensi menyebabkan kurang tepatnya terapi untuk kondisi ini dengan konsekuensi yang serius pada pasien-pasien berusia lanjut (usila). Beberapa bentuk terapi termasuk intervensi terapi fisik yang umum dilakukan seperti terapi latihan, latihan beban, biofeedback dan stimulasi elektrik, bersifat efektif dalam memperbaiki atau mengobati inkontinensia urin sesuai dengan kondisi individual sebagai suatu bentuk terapi utama ataupun terapi tambahan untuk terapi medikamentosa ataupun operasi. Terapi inkontinensia urin secara dini dan efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan emosional orang yang menderitanya.

Download: pdf