Abstrak
Komunitas Urban Farming Dan Kedaulatan Pangan: Studi Kasus Di Jakarta, Bandung Dan Bogor
Zulfadhli Nasution
Universitas Padjadjaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran
food movement, food sovereignty, gerakan pangan, kedaulatan pangan, urban farming
Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana dan sejauh apa komunitas urban farming dan kedaulatan pangan di Indonesia saling berkaitan. Untuk melakukannya dilakukan dengan dua cara: 1) meneliti sejauh mana dua pilar kedaulatan pangan dipraktekkan oleh komunitas urban farming yaitu lokalisasi sistem pangan dan pemeliharaan lingkungan; 2) meneliti bagaimana gerakan kedaulatan pangan memandang signifikansi komunitas urban farming dalam mengaplikasikan konsep kedaulatan pangan dan potensi untuk membangun hubungan mutualisme. Studi kasus dari tiga kota yang diteliti – Jakarta, Bandung dan Bogor – menyimpulkan bahwa wacana kedaulatan pangan belum terpapar kepada komunitas urban farming dikarenakan, 1) urban farming sebagai gerakan memiliki latar belakang dan akar historis yang berbeda dengan kemunculan gerakan kedaulatan pangan yang pada mulanya dibawa oleh gerakan berbasis pertanian pedesaan, dan 2) keduanya juga memiliki perbedaan karakter sosial dan politik (pangan). Di sisi yang lain, perwakilan gerakan kedaulatan pangan menyatakan setidaknya dibutuhkan dua prasyarat untuk memperkuat konstruksi kedaulatan pangan di antara penggerak isu pangan di perkotaan yaitu 1) membangun kesadaran konsumen tentang sistem pangan di antara kelompok urban, dan 2) membangun solidaritas antara desa dan kota. Penulis berpendapat bahwa kehadiran gerakan urban farming merupakan tanda dimulainya transisi gerakan pangan menuju area perkotaan yang selanjutnya menjadi kesempatan terbuka untuk menyertakan wacana kedaulatan pangan dalam membangun aktivisme yang lebih berkelanjutan dan adil. Untuk terwujudnya hal tersebut, dibutuhkan gerakan kedaulatan pangan yang lebih inklusif bagi populasi perkotaan, sedangkan komunitas urban pun harus merefleksikan gerakannya untuk lebih kritis terhadap sistem pangan industrialis yang ada saat ini. Diharapkan sebagai studi awal mengenai isu ini di Indonesia, penelitian ini dapat membawa inspirasi dan refleksi terutama di negara-negara yang serupa untuk memperkaya diskursus kedaulatan pangan bahwa setiap konteks, setting, dan geografi yang berbeda membutuhkan strategi dan enry point yang berbeda pula untuk diperhatikan.
This research paper has attempted to examine how and to what extent urban farming communities and food sovereignty in Indonesia engage each other. It is done by two ways: 1) examination of two pillars of food sovereignty practised among urban farming communities namely localisation of food system and nature stewardship; 2) examination on how peasantry-based food sovereignty movements see the significance of urban farming communities in applying food sovereignty concept and to build mutual linkage between them. Case study from three cities – Jakarta, Bandung and Bogor – shows that food sovereignty discourse has not (yet) much exposed the urban farming communities because, 1) urban farming as movements has different historical background and root of emergence with food sovereignty concept that was brought by rural peasantry-based movements, and 2) so the both also have different social characters and political views. On the other hand, the representatives of food sovereignty movement suggest at least two important prerequisites to strengthen the construction of food sovereignty among urban food advocates specifically 1) building consumer conciousness on food system among urban groups, and 2) building urban and rural solidarity. I argue that the emergence of urban farming movements can be a sign of the beginning and transition phase of food movement into urban setting that further can be a great chance for food sovereignty to fulfill the discourse on more sustainable and just food activism. For this, it needs more inclusive food sovereignty movements toward urban population, yet the urban communities should frame their activism to be critical to the existing industrialized food system. As initial research on this issue in Indonesia, this hopefully can bring insight and reflection – including for the global South – to enrich food sovereignty discourse as different context, setting, and geography perhaps should have different strategy and entry point.