Abstrak 
Perspektif Negara Hukum yang Berkeadilan (Prawacana)
Susi Dwi Harijanti
Universitas Padjadjaran, Buku "Negara Hukum Yang Berkeadilan" Kurnpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.CL., Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD) Cetakan pertama Oktober 2011 ISBN 978-979-692-068-6
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran, Buku "Negara Hukum Yang Berkeadilan" Kurnpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.CL., Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD) Cetakan pertama Oktober 2011 ISBN 978-979-692-068-6
Negara Hukum yang Berkeadilan
Di Indonesia, tahun 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan salah satu perubahan mendasar dengan memasukkan konsep negara hukum menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi ‘Negara Indonesia adalah negara hukum. Semula prinsip negara hukum ini terdapat dalam Penjelasan UUD di bawah Bagian ‘Sistem Pemerintahan Negara’ yang antara lain berbunyi: I. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). II. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtssstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Sebelum tahun 2001, MPR juga melakukan perubahan mendasar Iainnya dalam kaitan dengan negara hukum, yakni menambah berbagai ketentuan hak asasi manusia yang hampir seluruhnya diadopsi dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Penambahan ini menurut Tim Lindsey merupakan ‘a radical invention of the basic assumptions on which the Indonesian state was founded’,’ suatu pandangan yang wajar mengingat Indonesia menurut Soepomo didirikan atas dasar paham kekeluargaan (integralist state) yang tidak mempertentangan antara negara dengan individu.2 Dalam sidang-sidang di BPUPKI, perdebatan mengemuka berkenaan dengan hak asasi manusia ini. Dari penelusuran historis, Bagir Manan berpendapat bahwa perbedaan pendapat antara Soepomo dan Hatta tidak lagi berkenaan dengan penolakan hak asasi manusia oleh Soepomo, melainkan keberatan Soepomo memasukkan pengaturan hak asasi manusia dalam UUD. Perdebatan ini akhirnya diselesaikan melalui kompromi yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum perubahan).