Abstrak RSS

Laporan Penelitian Penelitian Peneliti Muda (LITMUD) Unpad Perkembangan Pesantren Di Kabupaten Bandung

Laporan Penelitian Penelitian Peneliti Muda (LITMUD) Unpad Perkembangan Pesantren Di Kabupaten Bandung
Ketua : Miftahul Falah, S. S., Anggota I : Prof. Dr. Hj. Nina H. Lubis, M. S., Anggota II : Saefulhayat, Drs.
Universitas Padjadjaran, Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran, Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
,

Pesantren merupakan lembaga pendidikan informal yang bertujuan hendak mencetak kader ulama yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Biasanya, terdapat ikatan kuat antarpesantren baik yang dipersatukan oleh hubungan darah maupun hubungan antara guru dan murid. Biasanya, seorang santri yang telah dinyatakan lulus dari pesantren diberi tugas untuk berdakwah dengan mendirikan sebuah pesantren. Dalam perkembangannya, pesantren tidak hanya memainkan peran sebagai lembaga pendidikan keagamaan semata, melainkan juga memainkan peranan di bidang sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks inilah, ada hal yang menarik untuk diteliti yaitu perkembangan pesantren, baik dari sisi kelembagaan maupun hubungannya dengan pihak luar. Perkembangan ini penting diteliti karena tidak semua pesantren yang ada di Kabupaten Bandung menunjukkan arah perkembangan yang sama. Kenyataan tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang bersifat eksternal maupun internal. Mengungkap perkembangan pesantren di Kabupaten Bandung berarti menguraikan perjalanan pesantren dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan metode sejarah yang terdiri atas empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Untuk menghasilkan historiografi yang bersifat deskriptif-analitis, dipergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dengan meminjam beberapa konsep dan teori sosiologi dan antropologi. Hasil penelitian menunjukkan di Kabupaten Bandung, tidak semua pesantren mengalami perkembangan sesuai dengan harapannya. Pada umumnya, pesantren yang berada di bawah NU masih mempertahankan tradisi salafiyahnya, meskipun unsur-unsur pendidikan formal sudah menjadi bagian integral dari kurikulum pesantren tersebut, seperti yang diperlihatkan oleh Pesantren: Baitul Arqam, Al Muffasir, Sumur Bandung, dan Yamisa. Sementara itu, Pesantren Al Ittifaq menunjukkan perkembangan yang kurang lazim bagi kalangan salafi. Pesantren ini tidak hanya berperan sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga menjadi sentra pertanian (agrobisnis). Sementara itu, pesantren yang berada di bawah naungan Persis, pada umumnya mengacu pada kebijakan PP Persis kecuali Pesantren Persis No. 34 Cibegol, Soreang. Tahun masehi tidak dipakai untuk menentukan tahun ajaran, melainkan menggunakan perhitungan tahun hijiriah. Akan tetapi, secara keseluruhan pesantren ini merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pesantren di lingkungan Persis.

Pesantren is an informal education establishment aiming at producing ulema cadres, which is someone with the insight of Islam. Usually, there is a strong inter-pesantren bond, brought together by both bloodline and the teacherstudent bond. Typically, a graduated santri is given a task to preach by establishing a pesantren. In its development, the pesantren plays not only the role of an education establishment, but also in social, political, cultural and economic. It is in this context that there is an interesting subject to be researched, which is the development of the pesantren, either from the institution or the relation with outside parties’ point of view. It is essential to research this development since not all pesantren in the Bandung regency show similar development course. This might have been caused by both internal and external factors. Revealing the development of pesantrens in Bandung regency means describing the pesantren timeline, therefore, this research used historical method. This method consist of four stages: heuristic, critic, interpretation, and historiography. To produce the decsriptive-analytical historiography, the social sciences approach was used by borrowing some concepts and theories of sociology and anthropology. The result shows that in Bandung regency, not all pesantren develop as hoped previously. In general, pesantrens not under the NU still maintain theirsalafiyah tradition, although modern education elements have become an integral part of their curriculum. Such as seen in pesantrens like; Baitul Arqam, Al Muffasir, Sumur Bandung and Yamisa. While the Al Ittifaq pesantren shows an unusual development for the salafi. This pesantren not only functions as an Islamic sermon and education establishment, but also as an agribusiness centre. Meanwhile, pesantren under Persis, in general comply to PP Persis’ policy except for Pesantren Persis No. 34 Cibegol in Soreang where Arabic calendar system is used instead of the Roman calendar. However, overall this pesantren is an integral part of pesantrens in Persis.

Download: .Full Papers