Abstrak 
Uji Klinik Obat Herbal
Rovina Ruslami, dr., SpPD, Ph.D
Universitas Padjadjaran, 3rd Bandung Infectious Disease Symposia International Research Seminar in Infectious Disease November 17-19 2011 Aston Primera Hotel Bandung
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran, 3rd Bandung Infectious Disease Symposia International Research Seminar in Infectious Disease November 17-19 2011 Aston Primera Hotel Bandung
Uji Klinik Obat Herbal
Sekitar 80% populasi di negara-negara berkembang masih bergantung kepada obat herbal untuk pengobatan dasar masalah kesehatannya. Meskipun obat herbal sudah digunakan secara turun-temurun berdasarkan resep nenek –moyang dan terbukti aman, namun penggunaan tanaman herbal sebagai “obat” yang tidak terstandar (baik dalam persiapan, pengolahan, peresepan/penggunaannya) berpotensi timbulnya efek samping dan interaksi negatif. Hal tersebut akan mempengaruhi safety dan effectiveness suatu tanaman obat. Bukti-bukti akan khasiat obat herbal meningkat cukup bermakna dalam 2 dekade terakhir dengan makin banyaknya dilakukan penelitian mengenai obat herbal. Namun penelitian tersebut terutama menggunakan ekstrak tanaman atau active compound, masih sangat sedikit menggunakan tanaman utuh (jamu) sebagai obat herbal. Untuk dapat direkomendasikan sebagai alternatif obat/komplementer dari obat konvensional yang diakui saat ini, dibutuhkan lebih banyak landasan ilmiah (evidence based) penggunaan obat herbal melalui penelitian-penelitian yang benar dan baik, sehingga aspek keamanan (safety), khasiat (efficacy) dan persyaratan mutu (quality) suatu obat herbal terpenuhi. Dalam melakukan uji klinik suatu obat herbal kepada pasien, maka semua aturan dalam melakukan uji klinik suatu obat konvensional juga berlaku untuk uji klinik obat herbal. Panduan melakukan uji klinik obat herbal tetap mengacu kepada panduan dari WHO dan ICH-GCP (International Conference on Harmonisation – Good Clinical Practice), dimana kepentingan pasien sangat diperhatikan dan validitas dari hasil penelitian dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Dalam melakukan uji klinik obat herbal, metodologi penelitian, kriteria inklusi/eksklusi subyek penelitian, aspek legal serta aspek etik dan sebagainya harus diperhatikan. Upaya ini tidaklah mudah, karena aspek standarisasi (yang berhubungan dengan standarisasi obat herbal sebagai “obat” yang diujikan) harus dipenuhi. Namun semua merupakan tantangan bagi kita bersama bagaimana tanaman obat (jamu) yang merupakan potensi yang sangat besar dapat dioptimalkan eksistensinya, tidak hanya secara nasional namun juga secara internasional. Harus ada program yang terencana, terarah dan melibatkan semua pihak (ahli obat herbal, kliniki, peneliti, dan pemangku kebijakan).