Abstrak
Gambaran Kecenderungan Shame dan Kecenderungan Guilt pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Wiwi Wijastuti
Universitas Padjadjaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran
emerging adulthood, kecenderungan guilt, kecenderungan shame, mahasiswa
Dalam kehidupan seorang manusia banyak peristiwa yang terjadi sehari-harinya, dimulai peristiwa positif hingga negatif. Setiap peristiwa memunculkan emosinya masing-masing, setiap emosi memiliki manfaatnya masing-masing. Emosi negatif ini memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, terutama bagi perbaikan diri. Dalam menghadapi peristiwa negatif, ketika individu mengatribusikannya dengan diri mereka, maka akan muncul shame dan guilt sebagai bentuk dari self-blame. Perbedaan individual akan menyebabkan individu lebih cenderung pada shame atau pada guilt. Kecenderungan shame dan kecenderungan guilt ini merupakan sebuah gaya emosional, yang memungkinkan individu untuk merasakan shame atau guilt sebagai respon terhadap kegagalan atau pelanggarannya (Tangney & Dearing, 2002). Shame dan guilt sendiri memiliki manifestasi perilaku dan motivasional yang masing-masing berbeda. Sehingga, jika dilihat lebih dalam, individu dengan kecenderungan guilt akan lebih dimungkinkan untuk bertanggung-jawab, memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik, dan kemampuan untuk berempati yang lebih baik pula. Maka mahasiswa dengan peran dan harapan yang disematkan pada mereka, lebih baik jika memiliki kecenderungan terhadap guilt dibanding terhadap shame, begitu juga mahasiswa dari bidang psikologi terutama kaitannya dengan kemampuan empati. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Rogers (1975 dalam Suleeman dan Viorensika, 2013) bahwa untuk menjadi psikolog yang baik, diperlukan kemampuan untuk berempati agar dapat memahami kliennya. Selain itu, usia seseorang pada saat memasuki perguruan tinggi ini biasanya berada pada kisaran usia 18 – 24 tahun. Usia ini merupakan usia peralihan dari remaja menuju dewasa atau emerging adulthood. Pada usia ini individu mulai memiliki independensi dalam peran sosial dan harapan normatif, serta mulai meninggalkan ketergantungan pada orang tua yang dimiliki saat masa anak-anak dan remaja, termasuk saat menghadapi peristiwa negatif (Arnett, 2000). Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan rancangan non-eksperimental dengan metode survey. Menggunakan alat ukur TOSCA-A yang dikembangkan oleh Tangney (1999a) dan diadaptasi oleh Pusvitasari (2013), dengan sedikit modifikasi oleh peneliti. Alat ukur ini berbentuk kuesioner yang bersifat self-report. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik probability sampling jenis simple random, sehingga diperolehlah 85 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 85 responden, 85 orang atau 100% dari responden memiliki kecenderungan guilt yang tinggi dengan nilai Mean sebesar 60.20. Sedangkan hanya 37 orang atau 43.53% responden memiliki kecenderungan shame yang tinggi dan 48 orang atau 56.47% memiliki kecenderungan shame yang rendah, dengan nilai Mean sebesar 43.55. Hasil tersebut menunjukkan pula bahwa 37 orang memiliki kecenderungan shame dan kecenderungan guilt yang sama-sama tinggi. Namun, jika dilihat dari nilai Mean sudah jelas bahwa kecenderungan guilt masih lebih tinggi. Artinya bahwa sebagian besar responden lebih dimungkinkan akan mengevaluasi suatu peristiwa berdasarkan perilaku spesifik mereka, sehingga mereka akan mampu menerima kesalahan, bertanggungjawab, melakukan permohonan maaf, melakukan tindakan perbaikan, dan menganggap bahwa kesalahan atau pelanggaran yang terjadi dapat diperbaiki. Responden penelitian ini didominasi oleh responden yang berasal dari suku Jawa (32.94%) dan suku Sunda (36.47%). Pada kecenderungan guilt, responden dari kedua suku ini sama-sama memiliki kecenderungan yang tinggi. Sedangkan pada kecenderungan shame, responden yang bersuku Jawa lebih banyak yang memililki kecenderungan shame yang tinggi (53.57% responden) dan suku Sunda lebih banyak yang memiliki kecenderungan shame yang rendah (70.97%).