Abstrak
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Intensi Perilaku Cyberbullying Pada Anggota Grup Facebook “guild Bacot + Rusuh Ragnarok 2 Online” Yang Berusia 18–21 Tahun Berdasarkan Theory Of Planned Behavior Oleh Icek Ajzen
Siti Nurfiera Radia, Dr. Ahmad Gimmy Prathama Siswadi, M. Si.
Universitas Padjadjaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran
bullying, cyberbullying, facebook, intensi, Online game
Menurut survei global yang diadakan oleh Latitude News (2007) dalam Astri (2014), Indonesia merupakan negara dengan kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang. Kasus bullying di Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak dilakukan di jejaring sosial. Bahkan, Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2006, angka cyberbullying yang terjadi di mencapai angka 21 juta kasus di mulai dari kasus dengan skala ringan sampai dengan skala berat. Hasil penelitian memasukkan kategori seseorang disebut korban cyberbullying merupakan korban yang dihina, diabaikan, atau digosipkan di dunia maya. Data statistik menunjukkan bahwa sekitar 42% anak-anak mengalami cyberbullying, 35% anak-anak diancam secara online, 58% anak-anak mengakui bahwa mereka sering mengalami pelecehan dan penghinaan secara online, dan 58% anak-anak itu mengakui bahwa mereka tidak melaporkan kepada orang tua mereka soal tindakan cyberbullying yang mereka alami (Astri, 2014). Ada beberapa macam contoh kasus cyberbullying. Salah satunya tindakan mengirimkan pesan berisi ejekan atau ancaman yang menyakiti bahkan mengintimidasi korban. Selain itu, cyberbullying juga dapat dilakukan dengan menyebarkan rumor, menyebarkan foto atau video untuk menjatuhkan reputasi dan mempermalukan orang. Kemudian, ada juga yang mencuri password dari korban dan menyalahgunakannya untuk merusak profil si korban atau bahkan orang lain (Astri, 2014). Data tersebut menunjukan perkembangan ancaman cyberbullying sangat cepat, hal tersebut disebabkan semakin meningkatnya penggunaan internet dalam keseharian anak-anak dan remaja yang berfikiran sangat labil. Pada umumnya remaja pelaku cyberbullying tersebut terbiasa melakukan bullying di dunia nyata dan merasa lebih bebas untuk melakukan bullying di dunia maya. Pelaku merasa dapat lebih menghidari konskuensi atau akibat dari perbuatannya karena pelaku tidak perlu bertemu muka dengan muka untuk menyakiti perasaan korbannya.