Abstrak 
Perempuan, Tradisi dan Resistensi: Membaca Putri Karya Putu Wijaya
Aquarini Priyatna Prabasmoro
Universitas Padjadjaran, Disampaikan pada diskusi novel PUTRI karya Putu Wijaya, CCF 10 Desember 2005.
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
Universitas Padjadjaran, Disampaikan pada diskusi novel PUTRI karya Putu Wijaya, CCF 10 Desember 2005.
PUTRI Karya Putu Wijaya
Membaca dan menulis buku, apalagi bagi seorang perempuan yang mempunyai anak dan suami seperti saya, seringkali merupakan kemewahan yang tidak selalu dapat diperoleh setiap hari. Bahkan Gloria Anzaldua mengatakan bahwa kemewahan itu seringkali harus direbut dengan melarikan diri ke kamar mandi, ketika waktu menyendiri dianggap berterima. Di kamar mandi itulah, menurut Anzaldua, perempuan mempunyai ruang untuk membaca atau menulis. Membaca, seperti mandi dan kegiatan kamar mandi lainnya, seringkali merupakan suatu peristiwa pemanjaan diri dan resistensi bagi banyak perempuan, termasuk saya. Membaca dua buku maha tebal ini, Putri Buku Pertama dan Putri Buku Kedua, terlebih lagi. Selanjutnya, kedua novel itu saya sebut P1 dan P2. Jadi, begitulah dengan keraguan di satu sisi dan determinasi untuk dapat menaklukan situasi diri di sisi lain, saya dapat menyelesaikan membaca kedua novel ini dalam satu minggu. Cerita yang relatif mengalir pada kedua novel memudahkan saya untuk mewujudkan determinasi itu. Pada dasarnya ada beberapa hal lain yang memaksa saya untuk memfokuskan diri, atau lebih tepatnya menenggelamkan diri di dalam dunia Putri, di antaranya tokoh perempuan yang sentral, setting yang spesifik dengan lokalitas yang kental, bumbu roman percintaan, serta semangat feminis yang juga terasa kuat. Meski mungkin tidak dapat secara sederhana dilabeli sebagai roman, secara umum, Putri juga berkisah tentang hubungan cinta tokoh utama perempuan dan laki-laki, yakni Putri dan Ngurah Wikan