Abstrak RSS

Abjek dan Monstrous Feminine : Kisah Rahim, Liur, Tawa, dan Pembalut

Abjek dan Monstrous Feminine : Kisah Rahim, Liur, Tawa, dan Pembalut
Aquarini Priyatna Prabasmoro
Unpad
Indonesia
Unpad
, , , ,

Tahun 2002 saya mengikuti seminar film yang cukup prestisius di Inggris, Screen Studies Conference yang diseelenggarakan di Glasgow University. Dalam banyak sesi kecil, beberapa pembicara membahas film dengan menggunakan psikoanalisis. Saya melihat begitu banyak orang yang menguap dan mulai merasa bosan. Ketika coffee break tiba, diskusi informal pun segera tumbuh di berbagai sudut. Saya mencoba ikut mendengarkan dan tahulah saya sebagain orang tidak lagi ingin membahas psikoanalisis yang selalu datang dengan cerita yang sama. Bagi banyak orang, psikoanlisis adalah semata cerita dasar, yang kemudian menghasilkan berbagai cerita yang lain dengan tokoh utama maupun pendukung dengan nama berbeda. Saya sendiri ketika pertama kali membaca esai Freud, Femininity, hanya melihat seorang laki-laki tua, kaya, berbahasa Jerman, yang tidak yakin akan kelaki-lakiannya sehingga perempuan menjadi pemandangan yang menakutkan. Sebagian diri saya mengatakan, laki-laki ini mungkin mempunyai hasyrat untuk menjadi perempuan yang ditekannya. Ia mungkin mengigat ibunya dan tubuh ibunya yang hangat dan kuat. Untuk mengerangkai ketakutannya, ia menulis teori sambil duduk melamun di kursi goyang. Katanya, perempuan cemburu akan penis laki-laki. Katanya ketika anak laki-laki melihat tubuh ibunya yang tidak berpenis, anak laki-laki kemudian mengenal ketakutan akan kastrasi. Ia takut penisnya yang gagah itu dipenggal. Freud, yang teorinya berdasarkan apa yang disebut Irigaray sebagai “specular economy”, ironisnya gagal melihat kehadiran vagina perempuan dan kemudian menandai kehadiran yang gagal dilihatnya itu sebagai ketidakhadiran, sebagai laack. Seperti juga kritik Irigaray terhadap Lacan yang mengatakan bahwa teori yang dikemukakan Lacan bersifat ahistoris, margaret Mead mengatakan kesalahan mendasar Freud adalah pendapatnya yang menguniversalkan suatu hal yang sesungguhnya berada dalam lingkup budaya yang terbatas. Keduanya, Freud dan Lacan, gagal melihat historisitas atas apa yan gmenurut mereka terjadi ketika perempuan menjadi atau tidak menjadi perempuan dan laki-laki menjadi atau tidak menjadi laki-laki.

Download: pdf