Abstrak RSS

Citra Keraton Sebagai Objek Wisata Budaya (Studi Kasus Keraton Kasunanan Surakarta)

Citra Keraton Sebagai Objek Wisata Budaya (Studi Kasus Keraton Kasunanan Surakarta)
M A R I M I N
Unpad
Indonesia
Unpad
, , , , ,

Keraton Kasunanan Surakarta salah satu keraton di Indonesia yang masih berdiri. Apabila pemahaman nilai, eksistensi dan citra warisan budaya keraton menjadi bagian yang integral, terkonservasi, terkomodifikasi dan diversifikasi, maka keraton memiliki makna struktural dan simbolik yang berhasil guna bagi masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan terlibat, in-depth interview dan studi dokumentasi, dengan menggunakan Teori Strukturalisme dan Posmodernisme. Pembahasan topik penelitian difokuskan kepada citra warisan budaya keraton sebagai objek wisata budaya.

Dari hasil penelitian menunjukkan Keraton Kasunanan Surakarta belum menjadi destinasi utama wisata budaya. Warisan budaya yang berupa situs dan atraksi yang ada belum diberdayakan maksimal, belum terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik. Faktor penyebab utama adalah terdapat dua raja yang berkuasa. Sikap raja mencari pengaruh dan dukungan menyulitkan para kerabat, abdidalem, pemerintah dan warga masyarakat dalam mengambil sikap untuk menentukan kebijakan tentang keraton dalam pengembangan pariwisata.

Terkait dengan citra, masyarakat merasa bangga pada warisan budaya keraton. Warisan budaya yang begitu luhur (adiluhung) terkandung nilai, makna dan simbol menjadi anutan oleh masyarakat yang memercayainya.

Situs dan atraksi budaya diberdayakan menjadi objek wisata dalam kerangka pelestarian artefak dan berdampak meningkatkan pendapatan bagi keraton, masyarakat serta pendapatan asli daerah, karena itu diperlukan komunikasi antar stakeholders. Pada sisi lain artefak dan atraksi budaya keraton dijadikan objek wisata dapat memudar dari sakral menjadi profan seiring dengan perkembangan global, karena itu diperlukan strategi pelestarian dengan pemahaman nilai warisan budaya dan implementasi kearifan lokal.

Pengembangan keraton sebagai objek wisata diperlukan gagasan model pengembangan yang terintegrasi, daya dukung aksesibilitas dan infrastruktur yang ada cukup baik dan memadai, namun sumber daya manusia sebagai pengelola sangat kurang. Keraton dan pemerintah daerah belum bersinergi merencanakan dan melaksanakan kegiatan pariwisata. Perlu pola penataan produk wisata budaya dengan membangun standar dan fasilitas objek wisata yang berdasarkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Surakarta Kasunanan Palace is one of the established palaces in Indonesia. If the value of understanding, existence and the palace culture heritage image become as integral part which being commodited, conservated and diversificated, the palace has simbolyc and structural meanings, which could be useful for the society. The research is carried out with a qualitative approach method, data collecting with participatory observation, indepth interview and document study, with to use Structuralism and Posmodernism Theory. The research topic analysis based on the image of the palace as a tourism culture object.

The results of the research show that Surakarta Kasunanan Palace has not become a cultural tourism destination yet. The heritage of its situs and atraction have not been explored optimaly yet, and it has not been integrated and coordinated as well. The main factor, there were two ruled kings. The king’s attitude to seek influence and people’s support cause all a trouble among royal family member, royal government and society in order to establish general policy specialy in tourism development.

Refering to the general image, the society feels that their pride of the palace and its heritage is not as high as the previous king. Nevertheless, the people style believe the value and the meaning of the palace symbol on its culture.

Situs and culture atraction can be carried out with coserving and creasing the income for the palace, society and local capital income which the key factor is the communication among the stakeholders. On the other side, artifact and palace culture atraction become tourism destination can be dim from sacred to profane along with global so that its requires on conservation strategy with value understanding culture heritage and wisdom local implementation.

To develop the palace as a tourism object requires an integrated development model, accesibility to the sourranding of the palace’s infrastructure has to be better, on the other side, the human resource as a main support is still improperly managed. The palace and lokal government have not cooperated integratedly in planning and axecuting tourism activities in order to set up the product of cultural tourism by building the standard of tourism object facilities, based on the concept of continuous development.

Untuk Keterangan Lebih Lanjut Silahkan Menghubungi : http://cisral.unpad.ac.id